Rara Story

Mejor opción es ser tu mismo

SHINee Fanfiction // I Need a Kiss – Part 1

79 Komentar

·i need a kiss

·         Title : Babby, I Need a Kiss – Part 1

·         Author : Rasyifa || https://rarastory.wordpress.com

·         Genre : Romance, Fantasy, Little bit of Comedy—maybe–.

·         Main Cast :
– [YOU] Kim Gweboon
– Onew SHINee – Lee Jinki
– Minho SHINee
– Choi Minho

·         Other Cast :

– Find by your self

·         Length : Chaptered.

·         Rating : Teen-General.

·         Summary :

Seorang gadis yang terpaksa harus menikahi seorang lelaki kaya raya, yang bisa berubah menjadi wanita. Awesome!

– —
(!) Ditulis dengan kemampuan diksi dan humor yang rendah.
Di publish untuk memperbanyak arcive.

Happy reading~

– —

Babby, I Need a Kiss

Written by Rasyifa | https://rarastory.wordpress.com

– – –

Tuk.. tuk.. tuk

Melangkahkan kakinya dengan penuh irama. Pemuda itu yakin, seseorang yang berjalan dengan sepatu bergeletuk akan terlihat sungguh keren. Padahal di tempat itu tak ada seorangpun, selain dia yang berjalan. Jadi siapakah yang akan melihat kekerenannya itu saat berjalan dengan suara sepatu membentur batu-batu bata?

Tuk..tuk..tuk

‘Cinta ditolak dukun-pun bertindak’

Membaca sekilas tulisan di sebuah papan, yang dipaku seadanya di depan sebuah pintu. Menghembuskan nafas dari mulut sejenak. Dan mengangguk kecil seolah sedang berbicara dengan diri sendiri.

Cinta Jinki tidak ditolak, karena lebih tepatnya cintanya tak kunjung mau menghampirinya. Jangankan menghampiri, mendekat pada Jinkipun sepertinya cinta enggan. Seolah-olah Jinki dikutuk untuk tidak pernah mendapatkan cinta. Kenyataan itu jauh menyedihkan daripada ditolak cinta.

Treaakk

Dibalik pintu yang sudah dibuka oleh Jinki. Seorang lelaki duduk tenang di kursinya. Seluruh pakaiannya berwarna hitam. Misterius.

“Jadi gadis seperti apakah yang menolak Tuan muda berdasi seperti anda?” Jinki tertegun di depan pintu.

Hebat, orang ini bahkan tahu dia memakai dasi. Oh tunggu, semua orang juga bisa tahu kalau Jinki memakai dasi. Dia jelas memakainya, dan semua orang yang bisa melihat akan melihatnya. Jadi apa hebatnya?

“Tinggal perlihatkan fotonya kepada saya, kita bisa langsung memulai permainannya!” Jinki meringis kecil. Foto, foto apa maksudnya?

“Ah, sebelumnya silakan duduk dulu,” ucap sang lelaki misterius itu sambil berdiri dari duduknya. Jinki mengangguk, dan mendudukkan diri di sebuah kursi yang tepat berhadapan dengan lelaki itu. Sementara sang lelaki misterius kembali duduk.

Tuk..tuk..tuk

Kali ini bukan suara sepatu Jinki yang berjalan di atas batu bata. Melainkan, suara ketukan telunjuk lelaki misterius di atas meja. Sebuah isyarat untuk Jinki agar segera berbicara.

Tarik nafas….

Hembuskan.

Baiklah, Jinki pikir ia sudah siap berbicara.

“Ibuku menginginkan cucu,” Jinki berujar pelan, lelaki di depannya mengangkat sebelah alis tak mengerti.

“Tapi aku bahkan belum menikah,” Jinki melanjutkan dengan wajah dihias senyum getir yang tipis. Lelaki misterius di depannya mengangguk kecil, mulai memahami arah pembicaraan.

“Aku sudah sering mengikuti acara perjodohan yang dibuat oleh Ibuku, tapi semuanya selalu berjalan sama. Diawal para wanita-wanita itu akan terlihat sangat baik padaku, kemudian mereka, meninggalkanku dengan berbagai alasan. Kurang menarik, kurang seksi, kurang romantis, dan…mungkin pelit.” Mengakhiri cerita singkatnya dengan nada rendah di akhir.

Oh, Jinki pelit? tidak, Jinki hanya tidak suka mengeluarkan uang. Apalagi hanya untuk seorang wanita.

Lelaki di depan Jinki tertawa rendah. Kemudian mengangkat kedua alisnya bersamaan.

“Jadi itu masalahnya. Berarti anda ingin ramuan cinta?”

“Ramuan cinta?”

“Iya, jadi dengan ramuan ini..setiap wanita yang anda inginkan akan jatuh cinta kepada anda. Seperti sihir, pelet.” Lelaki misterius itu mengambil sebuah botol kecil berukuran 15 centi dari dalam laci mejanya. Dan meletakkannya begitu saja di depan Jinki.

“Apa dengan ini, aku bisa menjadi wanita?”

“Hah?” Lelaki misterius itu menatap Jinki tak percaya. Menjadi wanita, apa maksudnya itu?

“Ibuku menginginkan cucu dariku. Sementara aku belum menikah, aku juga mulai tak tertarik berurusan dengan wanita. Jadi ku pikir bagaimana jika aku jadi wanita saja, setelah itu melakukan proses seperti kloning, mempunyai anak dari sel indukku sendiri. Dan setelah semuanya berhasil, aku akan kembali menjadi lelaki.” Jinki tak main-main dengan apa yang ia ucapkan barusan. Wajahnya penuh dengan guratan keseriusan. Sementara lelaki misterius di depannya tercengang.

“Anda sudah gila?”

“Sepertinya belum.”

“Apa anda  sadar, apa yang anda ucapkan barusan adalah ucapan yang sangat gila?” Jinki mengangkat sebelah alisnya, lalu mengangguk kecil.

“Karena itulah aku datang kesini,” ujarnya yakin. Tapi justru mendapatkan tatapan tak percaya dari lelaki misterius di depannya. Hei, apa ada sesuatu yang salah?

“Jadi anda menganggap kalau tempat ini tempat orang gila?”

“Bukankah begitu. Sesuatu yang tak mungkin bisa jadi mungkin disinikan?” Jinki membenarkan letak dasinya, sementara wajah lelaki misterius di depannya terlihat memerah.

Tempat ini terlalu gelap dan pengap. Tapi Jinki maklum saja, jika banyak lampu dan ac itu namanya hotel.

“Nama saya Kim Jonghyun. Saya tidak bisa melayani permintaan anda. Sebaiknya anda pergi sekarang juga, karena masih banyak klien saya yang normal, yang sedang menunggu giliran.” Jinki menoleh ke arah pintu yang terbuka.

Hening, kosong, tak ada siapapun diluar. Jadi siapa klien yang dimaksud sedang menunggu giliran.

“Jadi tidak bisa? Sayang sekali. Baru kali ini aku merelakan uangku untuk hal-hal yang aneh seperti ini. Berapapun biayanya aku siap!”

“Kalau begitu anda bisa pergi ke dokter bedah plastik. Melakukan operasi untuk mengganti jenis kelamin anda.”

“Operasi plastik? Aku sudah mencobanya sebelum memutuskan kesini. Tapi terlalu rumit, aku harus mendapatkan surat izin dan hasilnya pun tidak bisa terlihat langsung. Operasinya juga harus dilakukan berulang-ulang kali. Aku tak suka! Lagipula, itu hanya membuatku menjadi perempuan di luar, di dalam..tak ada yang berubah.”

Kim Jonghyun. Lelaki itu benar-benar sudah setengah murka. Orang gila macam apa yang ada di depannya sekarang ini?

Sementara Jinki, masih dengan tatapan santainya, kembali membenarkan letak dasinya.

* * *

Jinki tersenyum sumringah. Melangkah menuju mobil berwarna silver yang terparkir di dekat pohon palem, tak jauh dari tempat Kim Jonghyun, lelaki misterius yang barusan ia temui itu.

Tepat di depan pintu mobil silver itu Jinki menghentikan langkahnya. Sedikit memiringkan kepala, kemudian mengangguk kecil.

Kenapa tidak naik? Oh, tentu saja… itu bukan mobilnya. Jinki mana bisa mengemudi.

Dia melangkah menuju arah belakang mobil berwarna silver tersebut. Sebuah sepeda berwarna merah tua terparkir disana. Jinki tersenyum. Ini dia… ‘mobil’nya.

* * *

Gadis itu menendang-nendang kerikil-kerikil kecil di pinggir jalanan. Wajahnya kusut, blazer seragam sekolahnya terlihat kotor.

Caranya berjalan terlihat tak beraturan. Kadang terserong ke kanan, kadang ke kiri. Sementara sepasang mata kecilnya menatap sekitar.

Busshhh~

Baru saja ia meniup udara melalui pipinya yang chubby. Pertanda dia sedang bosan, dan moodnya buruk.

‘Ti..ti…ti..tit’ sebuah suara ‘klakson’ terdengar dari arah belakang gadis itu. Gadis itu memilih untuk mengacuhkannya saja, toh cuma orang kurang kerjaan, sepertinya.

‘Ti…ti…ti..tit’

Mungkin orang yang membunyikan ‘klakson’ itu hanya ingin mencari gara-gara. Lebih baik tetap berjalan seperti ini. Jangan memperdulikan siapa-siapa. Membalas perlakuan yang sama, yang selama ini ia terima. Tidak diperdulikan.

“Hey..minggir!” Jinki, dari lapak sepedanya berteriak keras. Menyuruh seorang gadis di depannya untuk minggir. Tapi nampaknya ia tak diperdulikan sama sekali, bahkan gadis itu tidak menoleh ke arahnya.

‘Ti…ti…ti..tit’ Jinki menirukan suara ‘klakson’ untuk yang ketiga kalinya. Meski tidak mirip, setidaknya lelaki itu sudah berusaha.

“Nona muda, minggir!”

Tak ada jawaban, gadis itu masih berjalan. Dengan tidak beraturan tentunya.

“Hey, nona. Apa kau ingin mati!?”

“……”

“Kau tidak tulikan? Kenapa kau keras kepala sekali. Jika kau tak minggir. Baiklah, aku tidak akan memperdulikanmu. Aku tak segan-segan menabrakmu! Dan disini tak ada orang, yang bisa menjadi penolongmu!”

Gadis itu menghentikan langkahnya tiba-tiba. Wajahnya memerah. Dia kesal kepada orang yang sedari tadi meneriakinya. Terutama saat mendengar lelaki itu mengucapkan kata ‘memperdulikan’. Dia benci kata-kata itu

Ckittttttt~

Jinki meremas rem sepedanya kuat. Saat seseorang di depannya mendadak berhenti. Syukur, tidak tertabrak.

Sementara gadis yang menghentikan langkahnya, berbalik ke arah Jinki. Mata dengan sudut yang tajam itu menatap Jinki penuh kebencian.

“Kenapa tidak menabrak. Katanya ingin menabrakku. Kau bilang kau tidak perduli. Kenapa kau justru berhenti? Kau ini sebenarnya niat tidak sih ingin menabrakku. Sekarang, sebelum kau menyesal. Ayo tabrak aku lagi. Ayo tabrak aku!”

Jinki tertegun.

Cantik.

Cantik sekali. Dan..dadanya berdebar-debar, ketika bibir tipis gadis itu bergerak-gerak saat mengeluarkan kalimat-kalimat indah. Indah? gadis itu justru sedang memarahinya. Apa yang ada di pikiran Jinki?

“Ah..”

“Sekarang kau kenapa. Kau tak jadi menabrakku? Kalau begitu boleh aku saja yang menabrakmu?” Tanpa menunggu jawaban dari mulut Jinki. Gadis itu berjalan cepat. Mendorong sepeda Jinki dengan kuat. Sementara Jinki tak melawan sedikitpun.

Dan…

Brugh

Jinki sukses jatuh berdebum di atas aspal. Gadis itu ternyata cukup kuat.

“Ya! apa-apaan kau. Berani-beraninya melakukan ini padaku. Kau pikir kau siapa, huh?” Kesadaran Jinki sudah pulih. Dia menatap tajam gadis di depannya.

Cantik.

Tapi apa gunanya jika dia galak? Jinki tak suka.

“Aku Gweboon. Kenapa memangnya? Kau ingin mengajakku berkenalan. Kau bukan tipeku. Aku ini anak SMA. Kau ini tua, seuisia pamanku! Dasar Psyco.” Jinki mengernyit.

Tua? kenapa rasanya sakit sekali saat mendengar kata itu. Apa benar dia setua itu?

“Ya! Aku tidak tua. Aku bahkan belum menikah,” ucap Jinki yang entah kenapa justru terlihat seperti sedang mencurahkan perasaan hatinya.

“Apa perduliku? Kenapa aku harus perduli dengan itu? Bahkan tak ada gunanya jika aku memperdulikannya. Seperti Choi Minho. Aku perduli padanya, tapi dia justru tak pernah memperdulikanku.” Sama saja, yang ini justru terdengar sangat jelas bahwa gadis ini memang sedang mengeluarkan seluruh kekesalannya.

Jinki menelan air liurnya sendiri. Takut. Karena tiba-tiba  gadis cantik tapi galak di depannya itu  menangis.

“Ya! Yang terjatuhkan aku. Kenapa kau yang menangis?” Jinki menggaruk tengkuknya. Masih menatap takut gadis di depannya.

“Aku juga jatuh. Bahkan lukanya lebih sakit dari yang kau rasakan.”

“Kau terjatuh?”

“Choi Minho menjatuhkanku. Dan aku menjatuhkanmu! Impas.”

Gadis aneh.

Bicara apa sebenarnya? Berapa kalipun Jinki mengernyitkan keningnya. Dia tetap tak dapat memahami apa yang sedang gadis di depannya bicarakan.

Choi Minho…

Apa itu nama kucing peliharaan gadis ini?

“Jangan menangis disini. Kau bisa saja membuat orang-orang berpikiran aneh,” ucap Jinki berlebihan.

Jelas-jelas tidak ada siapapun disana —kecuali mereka berdua—, jadi siapa yang bisa ia maksud dengan orang-orang yang akan berpikiran aneh terhadap gadis itu.

“Jadi aku harus menangis dimana?”

“Ah…”

“Apa Aku harus menangis di rumah Choi Minho. Mengatakan yang sejujurnya. Dan meraum-raum di depan kakinya?” Jinki meringis lagi.

Kemudian sadar satu hal.

Gadis ini sama sekali bukan urusannya. Lagipula siapa itu Choi Minho? Dia jelas bukan Ayah Jinki, apalagi Eomma-nya.

Perlahan Jinki-pun bangkit dan mencoba meninggalkan gadis itu, yang kini terduduk di atas trotoar sambil menangis. Berusaha kabur, sebelum ada yang melihatnya.

Kreeett….

Jinki mulai menuntun sepedanya, berjalan menjauh dari gadis aneh itu. Syukurlah sejauh ini gadis itu tidak mencegahnya.

Satu, dua, tiga…

“Aku selalu memperdulikan orang lain. Tapi aku tak pernah mendapatkan sikap serupa. Aku tidak diperdulikan. Tidak dianggap ada. Meski menangis, tetap saja tidak ada yang peduli.”

Jinki menghentikan langkahnya. Tiba-tiba dadanya berdebar saat mendengar kalimat itu keluar dari bibir sang gadis.

Tes, tes, tes..

Dan gerimispun datang.

Jinki menoleh ke arah belakang, gadis itu masih disana. Sepertinya tak berniat beranjak, dan akan terus menangis sampai sesuatu bernama ‘Choi Minho’ datang padanya.

Dadanya semakin berdebar.

Jinki tak tega. Bisakah dia membawa gadis itu pulang bersamanya?

Kreeeet…

“Dimana rumahmu, aku akan mengantarkanmu pulang!”

Gadis itu tak menjawab. Justru sesegukan dalam tangisnya.

“Terkadang kita memang harus menunggu untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, nona muda. Memang menunggu itu, tidak enak. Sangat membosankan malah. Tapi, kenapa tidak? untuk sesuatu yang kita impikan.” Jinki berucap manis. Dia menjongkokkan tubuhnya di depan gadis itu.

Kim Gweboon. Gadis itu menoleh, memandang nanar ke arah Jinki yang sedang menatapnya.

Ucapan tadi, seperti sesuatu yang menyihirnya. Menunggu untuk sesuatu yang diinginkan.

Gadis itu perlahan tersenyum. Benar, dia harus menunggu lebih lama lagi. Untuk sesuatu yang ia inginkan. Choi Minho. Kenapa ia tak berpikiran seperti itu?

Jinki ikut tersenyum melihat gadis di depannya tersenyum. Ah, terlalu drama. Tapi biarlah.

“Mau ikut minum denganku?” Tawar Jinki dengan lembut, sepertinya Jinki lupa siapa yang ia berikan tawaran.

Kim Gweboon masih berstatus pelajar SMA. Membawanya ke pub sepertinya akan membuat masalah sendiri untuk Jinki.

Sementara Gweboon justru sedang kebingungan. Dadanya berdebar, sejak melihat Jinki membalas senyumnya.

– – –

Jinki menggaruk tengkuknya, benar-benar gatal. Semula, bukan ini niatnya. Tapi, kenapa bisa begini?

Sementara Kim Gweboon, gadis itu sudah tertidur sejak satu jam yang lalu. Dengan kepala yang menelengkup di atas meja bar.

Apa yang bisa Jinki lakukan sekarang?

*Flashback*

“Hei..bukan kesana. Siapa yang akan mengajakmu ke pub itu. Kita akan minum es jeruk,” Jinki menghentikan langkah Gweboon yang hampir membuka pintu sebuah  pub.

Gadis itu menoleh ke belakang, menemukan Jinki berdiri dengan sepedanya. Dan tangan lelaki itu sibuk menunjuk-nunjuk sebuah kedai jus yang terletak tepat di samping pub.

Lee Jinki, di mata Gweboon terlihat seperti lelaki idiot.

“Es jeruk? Aku tak suka jeruk. Kenapa kita tidak masuk ke dalam saja. Aku yakin, di dalam ada yang lebih baik dari es jeruk.” Gweboon memicingkan kedua matanya. Memaksa Jinki lebih tepatnya.

Ditatap seperti itu oleh seorang gadis, membuat Jinki tak leluasa.

*Flashback off*

Begitulah, Jinki tak pernah berniat membawa seorang gadis yang masih berstatus pelajar SMA itu ke pub untuk minum. Dia hanya ingin mengajak gadis ini minum. Bukan minum-minuman alcohol, hanya minum es jeruk, atau es campur. Yang pasti hanya sesuatu yang manis dan…tidak membuat mabuk.

Satu jam yang lalu, Gweboon yang akhirnya berhasil masuk ke pub. Sukses menghabiskan sepuluh gelas wine. Dan akhirnya ia mabuk dan tertidur.

Masih syukur, gadis itu tak berkelakuan macam-macam. Seperti berjoget-joget atau membaca puisi sambil menyanyi.

Sekarang, Jinki seorang diri bergelut dengan pemikirannya.

Apa yang harus ia lakukan dengan gadis yang sedang tertidur ini?

Sebaiknya mengantarkannya saja, pulang ke rumah menemui orang tuanya. Tapi apa yang akan ada di pikiran orang tuanya saat melihat anak gadisnya pulang dalam keadaan mabuk, dan diantara oleh pria tua seperti Jinki.

Baik, Jinki tidak tua. Dia bahkan belum menikah.

Lalu ada pilihan kedua, yaitu Jinki meninggalkan gadis ini begitu saja di pub ini.

Baik, itu ide paling cemerlang sepertinya.

Sreekk

Jinki beranjak.

Satu, dua, tiga…

“Ehem,” baru tiga langkah, dan Jinki sudah menghentikan langkahnya. Saat seorang pemuda berpakaian hitam putih, mencegatnya. Dengan jari telunjuk pemuda itu, yang menunjuk ke arah Gweboon yang sedang tertidur. Sepertinya pelayan disini.

“Aku..hanya ingin ke toilet. Aku tidak akan meninggalkannya.” ucap Jinki menyembunyikan kegugupan.

“Ehem?”

“Sungguh. Lagi pula, aku juga tidak mengenalnya. Jadi sepertinya meskipun aku meninggalkannya disini. Itu bukan masalah.”

“E…hem??”

“Kau benar. Dia memang pergi bersamaku kemari. Tapi bukan berarti aku mengenalnya. kami hanya kebetulan bertemu di depan.” Kali ini Jinki mulai menggaruk tengkuknya lagi.

“Ehemmm?”

“Aku bahkan tidak tahu namanya. Tapi karena aku berbaik hati. Aku akan membayar semua bon-nya. Berapa yang perlu ku bayar untuk Gweboon?”

“Ehem!?”

Jinki mengacak rambut di kepalanya kasar. Bodoh sekali, bahkan berbohong kecil seperti ini saja ia tak bisa. Dia benar-benar tak pandai.

“Baiklah. Baiklah, aku akan bertanggung jawab. Aku tak akan meninggalkan gadis itu. Tapi bisakah kau membantuku?” Pelayan di depan Jinki mengernyit. Jinki menghela nafasanya berat.

“Apa disini menyediakan sebuah kamar. Maksudku yang bisa ku sewa. Setidaknya aku tak mungkin membiarkan gadis itu tertidur disana bukan?”

“Hemm….” kali ini, pelayan itu menyeringai. menatap penuh curiga ke arah Jinki, dengan sebelah sudut bibir yang ditarik ke atas. Menggoda.

Jinki memutar bola matanya kesal. Ya ampun, pasti pelayan ini berpikiran macam-macam.

* * *

Gweboon sudah terbaring nyaman di atas tempat tidur berukuran sedang itu. Nafas lembutnya terdengar berirama dan memenuhi seluruh ruangan–sebuah kamar yang disewa Jinki dari pelayan yang selalu berucap ‘Ehem’.

Jinki, masih berdiri dan sesekali berjalan mondar-mandir di depan tubuh Gweboon yang terlelap. Kebingungan, resah, gelisah, semuanya campur aduk.

Apa benar tidak apa-apa jika Jinki melakukan ‘itu’. Lagipula, Gweboon terlihat tidur dengan sangat nyenyak. Gadis itu pasti tidak akan menyadarinya.

Tapi itukan ‘kotor’.

Tapi Jinki terlalu penasaran, bagaimanapun ia tak bisa pulang sebelum tahu ‘itu’.

Jinki berjalan pelan ke arah Gweboon terbaring, dadanya berdesir. Pelan dia meraba pakaian Gweboon. Membulatkan tekad, apapun yang terjadi dia akan bertanggung jawab. Kemudian memasukkan tangannya. dan..

Dapat. Ada sebuah handphone di dalam saku rok gadis itu.

Jinki hendak mengeluarkan tangannya dari saku rok gadis itu, hanya saja gadis itu tiba-tiba bergerak dalam tidurnya. Gawat, ini membuat Jinki panik mendadak.

Baik, sekarang tangan Jinki ikut terpelintir dan hasilnya tertindih tubuh gadis bernama Kim Gweboon itu.

Sekarang Jinki  malah tidak bisa mengeluarkan tangannya. Jinki menggigit bibir bagian bawahnya. Jika dia menarik tangannya begitu saja sekarang, mungkin akan membuat ‘makhluk’ di depannya menyadari apa yang terjadi. Dan mungkin saja akan salah paham. Mengira-ngira yang tidak-tidak, dan akhirnya Jinki mendapatkan masalah.

Oh ayolah, tangan Jinki berada di tubuh gadis itu. Ralat, tangan Jinki berada di dalam saku rok gadis itu. Kemungkinan terburuk, Jinki akan diduga melakukan totok saraf tanpa izin.

Glek

Menelan air liur, dadanya berdesir.  Jarak wajah Jinki dan Gweboon sekarang bisa dibilang cukup dekat. Oh sadar Jinki, kau anak yang baik. Tidak akan berbuat yang tidak-tidak pada gadis pas umur sepertinya bukan?

Jinki mencoba menjauhkan wajahnya. Menghela nafas sejenak, dan akhirnya memilih untuk menunggu. Iman Jinki masih kuat.

Dia akan menunggu, hingga gadis itu bergerak lagi dari tidurnya. Disaat itulah Jinki nantinya akan menarik tangannya. Itu satu-satunya cara yang terpikir di otak Jinki.

Lima menit…

Jinki masih sabar menunggu, sesekali matanya mengamati sekitar—kemana saja, asal tidak terfokus pada wajah gadis di depannya—-. Jika tidak, dada Jinki akan berdesir. Itu akan berakibat, penuaan dini.

Sepuluh menit..

Waktu mulai terasa berjalan cukup lama untuk Jinki. Tapi tak masalah, Jinki anak yang baik. Dia tidak akan mengeluh, dan akhirnya berbuat yang tidak-tidak.

Enam puluh lima menit…

Hoam..

Ini sudah kelima kalinya Jinki menguap dalam satu menit belakangan, matanya juga beberapa kali tertutup. Dan gadis yang sudah terlebih dahulu tidur itu, sama sekali tidak bergerak. Tidak sesuai harapan Jinki.

Andai tahu seperti ini. Jinki tidak akan nekat memasukkan tangannya ke saku rok kotor gadis itu. Tadi Jinki berniat baik, dia ingin mengambil handphone gadis itu, dan menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa anaknya —gadis itu— tidak pulang ke rumah malam ini, karena menginap di rumah temannya. Tentu itu bohong, bohong demi kebaikan tak apa-apa.

Hoam

Menguap lagi. Dan kali ini pertahanan Jinki ambruk. Dia tertidur, menenggelamkan kepala tepat di sisi gadis itu.

Aneh, bagaimana mungkin dua orang asing yang tidak saling mengenal satu sama lain. Dan bahkan bertemu karena sebuah insiden di jalan, dapat tidur di satu ranjang yang sama.

Tapi tak dapat dipungkiri, pemandangan ini telihat sangat manis..

Kedua wajah yang sedang tertidur di satu ranjang yang sama itu, sekilas nampak serasi, satu sama lain. Mungkin saja mereka itu berjodoh.

Kim Gweboon, 17 tahun. bercita-cita menjadi istri yang baik untuk Minho. Karena dia rasa hanya ketampanan Choi Minho-lah yang bisa sesuai mendampingi kecantikannya. Satu hal lagi dia suka berbelanja (tidak termasuk bahan dapur, itu pengecualian).

Lee Jinki, 23 tahun. Bercita-cita…..tidak ada. Hanya berpikiran bahwa, mengeluarkan uang untuk hal tidak berguna —-apalagi wanita— itu tidak perlu. Juga dia itu  tidak tua, dia bahkan belum menikah. Dan satu hal lagi, menurutnya dia itu Tampan juga keren.

* * *

03.00 AM

Kresek..brugh..brakk…

Keriuhan terdengar dari berbagai ruangan di tempat itu.  Beberapa orang keluar dengan wajah kusut, “Ada apa ini?” dan setelah bertanya, bukan mendapat jawaban justru diseret secara paksa. Kebanyakan dari mereka, terlihat berpasangan —-lelaki dan perempuan—-.

Operasi mendadak. Semua pasangan tanpa hubungan jelas akan dikenai sangsi. Targetnya pub-pub illegal.

Sementara itu…

kresek…kresekk..kresekk

Dua orang yang tertidur di satu ranjang yang sama itu sepertinya nampak tak terganggu dengan keributan yang terjadi di luar. Terkadang mereka bahkan mendengkur secara bersahut-sahutan. Dan posisi mereka masih seperti awal, tangan salah satu diantara mereka tertindih oleh tubuh yang lainnya dan berada di dalam saku rok orang yang sama.

Lee Jinki, Kim Gweboon. Sepertinya akan mendapatkan sebuah kejutan.

BRAKKK

Pintu itu akhirnya terbuka, setelah susah payah di dobrak.

“YA KALIAN!”

“Enghh~” kedua orang itu mengerang bersamaan. Sedikit terganggu dengan adanya teriakan itu.

“BANGUN!”

“Eunghh!~”

“TIDAK BISA DIBERI TAHU, KALAU BEGITU AKAN KU PAKSA!” pria dengan seragam berwarna biru itu berjalan. Sekitar tiga langkah lagi ia menghentikan langkahnya, saat melihat akhirnya kedua orang di tempat tidur itu mengerang pelan. Sepertinya akan bangun.

Jinki, Gweboon…dengan perlahan membuka mata secara bersamaan.

Kedua pasang mata itu bertemu. Berkedip-kedip sejenak. Yang satunya mulai memicing, sementara yang satunya membulat.

Kim Gweboon, menyadari dia terbangun dengan seorang lelaki yang tidak ia kenal ada di sampingnya. Dan ada sesuatu yang aneh dengan rok nya. Dia melirik.

Lee Jinki. Shock berat. Gadis di depannya memicingkan matanya hingga terlihat mengerikan. Saat menyadari tangannya yang satu seperti meremas sesuatu. Dia melirik.

Lee Jinki, Kim Gweboon. Mereka melirik.

Tangan Jinki meremas paha Gweboon. Perfect!

“AAAAAAA!” keduanya berteriak satu sama lain. Hosh..hosh, menarik nafas sejenak setelah berteriak kencang. Masih melirik ke arah yang sama.

“AAAAAAA!”  berteriak kedua kalinya dan akhirnya Jinki sadar kemudian langsung menarik tangannya.

“AAaa…!” kali ini teriakan itu  tertahan, saat mendengar seseorang menyebut sebuah nama sambil memekik nyaring.

“KIM GWEBOON!”

Suara itu benar-benar terdengar tidak asing, dan akhirnya gadis itu menoleh, mencari sumber. Saat menemukan seorang pria berseragam biru berdiri gagah di depannya, ia tercekat.

“KIM GWEBOON!” ucap pria itu untuk yang kedua kali.

Gweboon menelan air liurnya. Pahit!

“AYAH!” pekiknya akhirnya tak kalah nyaring dari pria itu. Pria itu memicingkan matanya, sama persis seperti mata yang dimiliki Gweboon.

“GWEBOON!” ucap pria itu lagi. Kali ini dengan gigi yang terlihat bergemertak.

“AYAH!” memasang wajah memelas, menunggu ajal yang seolah akan menghampiri dalam hitungan detik.

“GWEBOONIE~!”

“LEE JINKI!”

krik..krik

Ucapan terakhir itu membuat keheningan. Gweboon dan orang berseragam biru kompak saling menatap aneh ke arah Lee Jinki.

Jinki mengerjapkan matanya, bingung ditatap oleh dua beranak yang sama-sama memiliki mata mengerikan. Dengan senyum getir Jinki menyahut, “Itu namaku. Apa kedengarannya aneh?”

* * *

Lee Jinki, Kim Gweboon.

Mereka berdua duduk berdampingan. Berhadapan dengan Kim Kibum, pria berseragam biru yang tak lain adalah ayah dari Kim Gweboon.

Pluk..

Kibum menjatuhkan pulpennya ke lantai. Jinki dengan sigap mengambilkannya untuk pria itu. Tanpa berterimakasih, pria itu langsung mencomot pulpen itu begitu saja dari tangan Jinki.

“Sejak kapan kau seperti ini Gweboon?” gadis itu menunduk, tak berani menatap sang ayah yang diduga pasti salah paham.

“Ayah tak mengira, kau melakukan semua ini di belakang ayah.” Gweboon terus menunduk. Jinki merasa tak enak hati, dan akhirnya memilih untuk mengangkat sepatunya. Ah bodoh, yang benar itu angkat bicara Jinki. Jinki mengangguk pada diri sendiri, membatalkan untuk mengangkat sepatu dan membulatkan tekad untuk angkat bicara.

“Maaf paman. Sepertinya paman salah paham. Ini sama sekali tidak seperti kelihatannya. Kami berdua bahkan tidak saling kenal!” takut-takut Jinki melirik pada Kibum.

“Ck. Gweboonie~ setidaknya. Kau harus pilih-pilih jika ingin melakukannya. Kenapa kau memilih lelaki tua seperti dia?”

Gweboon akhirnya mengangkat kepalanya saat mendengar ucapan ayahnya barusan. Menatap sang ayah yang telah balik menatapnya dengan tatapan prihatin. Sementara Jinki membulatkan mata sipitnya.

Tua?

Jinki tidak suka itu. Dia tidak tua. Jinki bahkan belum menikah. Satu kalipun, belum pernah.

“Sekarang aku harus bagaimana, anak perempuanku satu-satunya masa depannya dihancurkan oleh lelaki sepertimu. Apa kau akan bertanggung jawab?” Kibum berucap sarkatis. Jinki menghela nafasnya.

Harus bagaimana menjelaskannya. Semua ini salah paham. Hanya Jinkilah yang mengetahui kejadian ini dari awal sampai akhir secara persis.

“Sekarang bisa kau hubungi keluargamu. Biarkan aku bicara pada mereka,” lanjut Kibum yang membuat Jinki terbelalak.

Jinki menghela nafasnya berat untuk yang kesekian kali. Kenapa masalahnya jadi serumit ini?

Kalau begini, Jinki jadi menyesal dia menawari gadis di sampingnya minum, dia menyesal menyewakan kamar —-yang artinya dia mengeluarkan uang—, dia menyesal berusaha mengambil handphone gadis itu—meski tidak jadi—-. Dia menyesal atas segala hal.

Seharusnya waktu itu, ia biarkan saja gadis itu menangis seorang diri di pinggir trotoar. Kenapa dia justru berbaik hati. Dia benar-benar rugi.

Dan sekarang, apa yang dikatakan ibunya. Jika diketahui anak laki-lakinya telah melakukan ‘sesuatu’ pada anak perempuan orang lain. Meski itu tidak benar, tapi fakta tidak benar itulah yang diyakini pria bernama Kibum itu. Meski Jinki sudah menceritakan yang sebenarnya, tetap saja percuma.

Jinki menghela nafasnya lagi.

Sebenatar lagi, malaikat maut sepertinya akan mengambil nyawanya.

—-To Be Continued—-

READ MORE FANFICTION ‘I Need a Kiss’

I Need a Kiss Season I (Sequel )
|| Teaser | Part 1 | Part 2 | Part 3 | Part 4 | Part 5 | Part 6 | Part 7 | Part 8 | Part 9 | Part 10 | Part 11 [END] ||
I Need a Kiss Season II (Sequel )
( Part 1 | Part 2 [END] )

A/N : Meskipun ceritanya gaje, tetap Comment ya ^^/

Penulis: Rasyifa

♥ Ordinary Girl, who loves rain sound.

79 thoughts on “SHINee Fanfiction // I Need a Kiss – Part 1

  1. Aku baca lagi

    Suka

  2. ekampret, jinki pelit banget -3-
    but… ini keren

    Keep Writing XD

    Suka

  3. Ngakak aah jinki mah, karakter pemerannya bagus-bagus salut! Jadi ga bisa berentikan, oke aku lanjut chap2 yah eonni

    Suka

  4. Wuahhhh, jinki masa jd cwe ….
    Dan knapa jinki pelit sihhh….
    Di tunggu chapter selanjutnya ya eonn

    Suka

  5. hhahhaa.. beneran kocak ffnya..jinki anak baik tp pelit :p dan itu jinki kan baru 23 taun napa pd bilang tua sih…

    Suka

Feedback. . .♥