Rara Story

Mejor opción es ser tu mismo

Onew Fanfic Sad // Gwenchana Part 1

58 Komentar

Gwenchana

  • Genre : Marriage Life, Romance,  Sad, Straight, Life, Family.
  • Rating : Teen (PG-15)
  • Length : Sequel
  • Summary : “tidak ada yang perlu dimaafkan, karena beliau tidak pernah salah yeobbo!” Jinki memandangku sejenak, kemudian tersenyum. Aku tahu senyum itu, aku tahu bahwa dia memaksakannya, dia ingin membuatku lebih tenang, begitukan? Ya, aku memang terlalu menyukai senyumnya, dan aku pernah bilang padanya bahwa cukup dengan dia tersenyum maka aku akan tenang, dan semua akan baik-baik saja.

Gwenchana

©Rasyifa_2012

 

‘Prang’

“Astaga, wanita macam apa yang bahkan menuang airpun tidak becus!”  aku hanya bisa menatap nanar pada air yang tertumpah ke lantai, beserta beling pecahan gelas yang berserakan begitu saja di sekitarnya.

“Aku bahkan belum menyuap sesendok nasi pun, tapi nafsu makanku telah hilang!”

Masih terdiam di tempatku, dan tak bisa berucap apa-apa ketika menyadari seseorang mendorong kursinya untuk mundur, kemudian sesorang itu bangkit dari duduknya, meninggalkan aku sendirian, disini.

Perlahan airmataku mulai menyeruak membasahi pipiku.

Hanya menuang air ke dalam gelas, aku bahkan tidak bisa melakukannya dengan benar.

Ibu mertuaku benar,  wanita macam apa aku ini? Ku sadari airmataku semakin leluasa menyeruak, membuatku merasakan sesak saat bulir-bulirnya jatuh dari kelopak mataku.

* * *

“Nona muda, biar saya yang membersihkan ini! Nona muda lanjutkan saja makannya!” aku tersenyum tipis kepada bibi Kang, pembantu di rumah ini. Sementara aku memutar arah kursi rodaku, aku melihat bibi Kang sudah dengan cekatan membersihkan bekas beling kaca yang berserakan karena ulah wanita sakit, sepertiku.

Aku menyuapkan nasi perlahan ke dalam mulutku, dan mengunyahnya dengan tak kalah pelan. Lagi-lagi aku membuat ibu mertuaku marah.

Sebenarnya menantu macam apa aku ini? Aku tak pernah sekalipun membuat ibu mertuaku senang karena kehadiranku, aku selalu mengecewakannya dan bahkan aku selalu membuatnya marah. Cih, benar-benar menantu yang kurang ajar bukan?

Sungguh ini bukan pertama kalinya aku seperti ini, atau mungkin aku sudah melakukan kesalahan ini beratus-ratus kali. Tapi setiap aku melakukan kesalahan, aku selalu merasakan hal yang sama, aku merasa sakit..sakit sekali, aku juga merasa perih..lebih tepatnya perih sekali, dan kedua rasa itu muncul di antara jantungku yang berdetak lemah, dan ku dengar orang-orang menyebut tempat itu dengan hati nurani, hati yang tak terlihat.

Aku benar-benar merasa kalau keberadaanku di dunia ini hanyalah seperti tanaman parasit. Aku hanya bisa hidup dengan menyusahkan orang lain dan terus menyakitinya sejadi-jadinya, benar-benar tak berharga dan tak tau malu.

* * *

“Kau belum tidur?”

Ak tersenyum lemah dan menganggukkan kepalaku di hadapan lelaki tampan yang baru saja memasuki kamar cantik ini, orang itu  adalah suamiku…namanya Lee Jinki, dia seorang dokter spesialis penyakit dalam tertampan yang pernah ada di dunia, dan aku adalah Han Ji-Eun, ah..biar ku perbaiki, aku adalah Lee Ji-Eun, istri syah dari lelaki yang memiliki nama Lee Jinki itu.

“Mau aku Bantu?” dia mendekat ke arahku sambil memasang senyum di wajahnya yang putih. Saat tepat berada di hadapanku, lelaki ini menundukkan tubuhnya, mensejajarkan tingginya dengan tinggiku yang duduk di atas kursi roda.

“Maksudmu?” ucapku pura-pura tak tahu apa maksudnya, sementara wajahnya semakin mendekat pada wajahku, hingga ku sadari ujung dari hidung mancungnya itu, telah menyentuh ujung hidung milikku. Degh.

Sangat cantik!” bisiknya lembut  di telingaku yang sukses membuat wajahku bersemu merah.

“Jinki~ah!” desahku mulai merasakan gelagat tak enak dari sentuhan tangannya pada pipiku.

Ya, cantik?”

“Kau belum mandi….bau!” dia membulatkan mata sipitnya sejenak, dan kemudian tertawa renyah. Hhh, aku suka mendengar  tawa itu, aku suka melihat wajahnya yang tertawa, apalagi jika mengingat tawa itu adalah tawa suamiku, aku merasa jantungku yang berpenyakitan ini akan berhenti berdetak saat ini juga. Ckk. Aku memang selalu menjadi gadis gila jika berdekatan dengannya.

“Aku males mandi, kita langsung saja ke ranjang ya?” aku mengulum tawaku dan menepuk pundak kekarnya pelan.

“Siapa yang bersedia tidur dengan dokter bau sepertimu, eoh?” wajahnya meringis berpura-pura kesakitan. Ah, yang benar saja, memangnya seberapa kuat tenaga wanita berpenyakitan ini memukulmu, suamiku?

Sayang, ini sakit sekali!” aku hanya bisa tertawa melihat ekspressi wajahnya yang terlihat kekanak-kanakan.

“….kau harus bertanggung jawab!” lanjutnya dan membuat kedua mataku memicing saat tiba-tiba ia menggendong tubuhku lalu dengan begitu saja menggeletakannya di atas tempat tidur.

“Jadilah milikku malam ini!” bisiknya di telingaku, membuatku tiba-tiba merasakan ketegangan.

Tidak, maaf… biar ku perbaiki, jadilah milikku untuk selama-lamanya!”

* * *

“Ambilah nasi yang banyak Jinki, kau tak boleh kekurangan asupan tenaga. Bukankah kau harus menjadi dokter untuk pasienmu di rumah sakit, dan dokter untuk istrimu yang sakit-sakitan itu!”

Ibu!” Jinki nampak tak terima mendengar ucapan ibunya sendiri, dia menghentikan makannya sejenak dan beralih untuk menatapku. Aku tau tatapan itu, aku tau dia cemas akan perasaanku dan untuk mengatakan padanya bahwa aku ‘tidak apa-apa’, aku memberikannya senyum kecil.

“Kenapa kau memanggil ibu seperti itu, ucapan ibu benarkan? Selain pasien kau juga harus mengurus istrimu yang sakit!”

IBU!” aku memandang Jinki tak percaya, sekarang dia justru semakin menggunakan nada tinggi untuk memanggil ibunya sendiri. Bagaimana jika mertuaku memarahinya setelah ini. Ini karena ulahku, karena aku yang sakit-sakitan maka suamiku harus menanggung penderitaan ini.

“Sudah berani menggunakan nada tinggi saat bicara dengan ibumu sendiri, Jinki? Siapa yang mengajarimu? Apakah ini sikap seorang anak setelah menikah?”

Dugaanku memang benar, ibu mertuaku pasti tidak akan tinggal diam dia akan terus mengomeli Jinki dan aku hanya bisa menonton dari atas kursi roda yang ku duduki.

Jieun sayang, apa kau sudah selesai makan? Aku ingin mengajakmu jalan-jalan!” Jinki mencoba tak menghiraukan ibunya, berusaha untuk tidak memperpanjang perdebatan yang terjadi di depan meja makan, tapi Jinki tak bisa memahami ibunya, dia tak tahu bahwa hal ini justru akan membuat ibunya bertambah marah dan yang terpenting bertambah membenciku. Ibunya pasti beranggapan, bahwa Jinki sudah mulai mengacuhkan ibunya sendiri, hanya karena memiliki istri yang sakit sepertiku.

“Sekarang, kau benar-benar mengacuhkan ibu kandungmu!” daebak, lagi-lagi dugaanku benar bukan? Ibu mertuaku justru menganggap yang Jinki lakukan adalah menghindarinya bukan untuk menyudahi pertentangan ini.

Yeobbo, jika kau memang masih lapar lanjutkan saja makannya di tempat yang akan kita kunjungi, sekarang kita pergi dulu ya!” Jinki begitu saja mendorong kursi rodaku, sementara aku masih terdiam di tempatku. Bodoh, harusnya aku tidak seperti ini. Harusnya aku mengelak Jinki untuk pergi meninggalkan ibunya, harusnya aku berpamitan dengan ibu mertuaku, bukan pergi begitu saja seperti ini.

Ya, aku tau aku bodoh. Tapi salahkah jika aku hanya bisa terdiam disaat seperti ini. Jujur, aku dalam keadaan yang tidak baik. Aku sangat tidak baik, aku merasa ada sebilah duri yang menyangkut di kerongkonganku. Aku merasa ada sesuatu yang mengikat jantungku. Sesak, tapi aku tak ingin mengutarakannya. Selama aku bisa berbohong ‘aku tidak apa-apa’, aku akan selalu berbohong meski sebenarnya aku sedang dalam keadaan tidak baik.

* * *

“Maafkan ibuku ya yeobbo!” ucap Jinki setelah kami berdua berada dalam mobil sedan putihnya. Aku hanya tersenyum ringkas menatapnya.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, karena beliau tidak pernah salah, yeobbo!” Jinki memandangku sejenak, kemudian tersenyum. Aku tahu senyum itu, aku tahu bahwa dia memaksakannya, dia ingin membuatku lebih tenang, begitukan? Ya, aku memang terlalu menyukai senyumnya, dan aku pernah bilang padanya bahwa cukup dengan dia tersenyum maka aku akan tenang, dan semua akan baik-baik saja.

“Hey, kemana kau ingin membawaku pergi pangeranku?” tanyaku berusaha merobohkan benteng kecanggungan yang sukses terbangun diantara kami berdua.

“Ke sebuah tempat yang sangat specsial, lihat saja nanti permasuriku! Kau pasti akan terpukau!” aku tertawa melihat mimik wajah Jinki saat menjawab pertanyaanku, sungguh dia terlihat sangat konyol dan sama sekali tak menunjukkan tampang bahwa dia adalah seorang dokter.

“Permasuriku, sebelumnya kita membeli bekal dulu ya?” aku mengangguk sambil tersenyum padanya. Ya, cukup dengan saling tersenyum seperti ini, maka semua akan baik-baik saja, cukup dengan membalas senyum satu sama lain maka akan kupastikan bahwa jantung ini tetap akan berdetak untuk selalu menemanimu.

* * *

“Cantik sekali!” ucap Jinki, semantara aku hanya mengangguk tanpa memandangnya. Yah, tempat ini memang sangat cantik. Dan Jinki benar, aku terpukau oleh karena kecantikan tempat ini. Tempat yang kumaksud adalah sebuah jembatan yang tidak terlalu besar, di bawah jembatan ini terdapat danau kecil, dan di atas permukaan danau itu aku melihat rombongan anak itik berenang bermai-ramai, sementara jika aku mengalihkan pandangan ke utara maka yang terlihat adalah seonggok gunung berwarna kebiru-biruan yang terlihat indah karena di sela-sela gunung itu terlihat sebagian matahari pagi yang masih bersembunyi karena malu, benar-benar pemandangan yang sangat cantik.

“Bukan pemandangannya yang cantik Yeobbo, tapi kau!” eh? Aku menolehkan pandanganku pada Jinki dan tiba-tiba sebuah cahaya putih mengujam penglihatanku.

‘Jpreett’

“Omona, neomu yeppo!” panas, seketika pipiku terasa memanas setelah mendengarnya memujiku. Benarkah aku secantik itu?

“Lihat, wajahmu benar-benar putih, waaa~ istriku!” Jinki tiba-tiba menghambur di pelukanku membuatku terkesiap sejenak.

‘degh..degh…degh’

“Bisakah kau berjanji padaku Ji~eun?” aku terdiam saat mendengar Jinki berucap dengan suara parau. Hey, kenapa suamiku tiba-tiba seperti ini?

“Janji apa?”

“Aku ingin kau tetap di sampingku, dan jangan pernah melepaskanku apapun yang terjadi!” aku hanya terdiam mendengarnya bicara seperti itu, sebenarnya apa maksudnya?

“Aku ingin kau menjadi milikku selamanya, hanya kau dan tak ada yang lain. Berjanji padaku, eum?” tersenyum di balik punggung tubuhnya yang sedang memelukku. Setakut inikah dia kehilanganku, sebesar inikah perasaannya mencintaiku? Dan entah kenapa aku ingin menangis setelah melihat dia bersikap seperti ini di depanku.

“Baiklah, aku janji!” jawabku dengan suara yang tiba-tiba ikut mendadak parau.

Gumawo!” suara itu terdengar lirih dan hampir hilang ditelan suara angin pagi, tapi siapa peduli dengan angin pagi? yah..meskipun angin itu dapat menyamarkan ucapan suamiku ini, Tapi angin tersebut tidak akan dapat melepaskan pelukan tubuh kami berdua, aku berani menjaminnya.

* * *

“Nona mau membeli cokelat kami tidak? Cokelat kami ini sangat manis loh nona! Dijamin rasanya enak dan nona pasti suka!” aku tersenyum pada gadis kecil yang dengan tiba-tiba menghampiriku lalu menyerahkan keranjang cokelatnya.

“Benarkah?” ucapku berusaha menggodanya dan ku lihat ia mengangguk kecil. Aigo, lucu sekali.

“Tentu saja, bukankah bohong itu tidak boleh?” aku tertawa melihat ekspressi wajahnya yang lucu, kemudian aku mengambil beberapa cokelat di keranjangnya.

“Hemm, berapa banyak yang harus aku beli?” tanyaku sambil memandangnya penuh selidik, dia memutar bola matanya. Hey, kenapa dia bisa bersikap seperti orang dewasa seperti itu, siapa yang mengajari anak kecil ini untuk bertingkah seperti itu.

“Pembelinyakan nona, ya..terserah nona mau beli berapa. Kenapa nona bertanya padaku, kalau aku yang menjawab tentu saja aku ingin nona membeli semua coklatku?”

“Aku ingin membeli sebanyak yang kau mau. Semuanya? Baiklah..aku beli semuanya. Aku suka cokelat!”

“Eh, jangan nona!” aku memandang bingung pada gadis kecil di hadapanku, kenapa dia? Bukankah seharusnya dia senang karena ada orang yang ingin membeli semua cokelatnya tapi kenapa dia justru melarangku? Lucu sekali.

“Kenapa?”

“Kalau nona banyak makan cokelat nanti gigi noona sakit, aku tak ingin nona datang padaku lalu menuntutku ke kantor polisi kemudian aku di penjarakan seperti appa, hanya karena membuat gigi nona sakit!” terpaku di tempatku, ucapan yang polos tapi sepenuhnya ucapan itu terlihat seperti sebuah cerita sedih yang dipendam seorang anak kecil seusianya.

“Hey, sedang apa disini?” tidak menyadari, dan tiba-tiba dengan begitu saja melihat Jinki sudah ada di hadapanku dan dia juga nampak berusaha menggoda anak kecil ini.

“Aku sedang menawarkan cokelatku pada nona ini, apakah ahjussi juga berminat?” aku tertawa saat mendengar anak kecil ini menyebut Jinki dengan panggilan ahjussi, hahaha lucu sekali.
gadis kecil lucu, imut, korean child

* * *

“Kau tertawa?”

“Memangnya kenapa, salah?”  jawabku sambil memberengut, sementara suamiku terus menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Ya, Tuhan..dia kenapa eoh?

“Ahniya, ini pertama kalinya aku melihatmu tertawa selepas itu, memangnya apa yang dilakukan anak kecil tadi ?”

“Dia hanya menawari cokelat!”

“Apa benar cuman itu?”

“Memang apa yang ada dipikiranmu itu?”

Ahni gwenchana.” jawabnya sambil memfokuskan untuk menyetir, sementara aku lebih menyibukkan diri untuk menatap keluar jendela.

Memejamkan mataku perlahan saat kantuk mulai menyerang mataku, hhh.. hari ini aku merasa lelah sekali dan ku pikir perjalanan pulangpun masih membutuhkan waktu yang cukup lama. Tak ada salahnya bukan jika aku mengistirahatkan tubuh letihku ini sebentar saja, setidaknya  sedikit menghilangkan rasa penat.

* * *

“Darimana saja kau dengan istri cacatmu itu Lee Jinki?” remang telingaku mendengar sebuah suara yang tak asing, terdengar seperti suara ibu mertuaku.

“Ibu, jangan berisik! Dia sedang tertidur!”

“Ciih, sekarang kau memperlakukan ibumu dengan sedemikian rupa. Sebenarnya racun seperti apa yang diberikan gadis itu padamu!”

“Ibu cukup!” perlahan, dengan berat aku membukakan mataku —sedikit mengintip untuk mengetahui situasi yang sedang terjadi. Dan ternyata, sekarang aku sedang dibopong oleh Jinki.

“Ibu tak habis pikir apa yang membuatmu mau menikahi gadis seperti dia! Dia bahkan tak bisa memberikanmu keturunan karena penyakitnya!”

‘Jlep’

Ucapan itu tepat menusuk ke ulu hatiku, dengan pelan menyayat-nyayat menjadi bagian kecil. Tuhan, kenapa rasanya pedih sekali? Ini benar-benar menyakitkan.

* * *

Dengan lembut Jinki meletakkan tubuhku di atas tempat tidur, dia mengelus rambutku lembut dengan tangannya.

“Maafkan aku Jieun!” ucapnya, sementara aku masih pura-pura tertidur dengan mata terpejam. Aku belum siap untuk membuka mataku dan menatap mata sipit itu, meski sebenarnya aku ingin melakukannya, aku ingin menatap mata sipit itu lalu memeluknya seerat mungkin.

“Kau pasti terluka karena telah menikah denganku!” meski terpejam, aku dapat merasakan mataku mulai berair hingga terasa panas.

Ucapan mertuaku kembali menyeruak di pendengaranku.

Aku memang bukan wanita yang baik, aku hanya gadis sakit dan karena aku sakit aku tak bisa memberikan kebahagiaan pada suamiku sendiri. Harusnya akulah yang minta maaf padanya, bukan dia. Aku bahkan ingat tatapan Jinki yang menatap gadis kecil penjual cokelat tadi, aku yakin dia sangat menginginkan buah hati. Tapi aku sebagai istrinya tak bisa memenuhi keinginannya. Aku tak lebih dari gadis cacat yang menyedihkan.

Maafkan aku Jinki. apakah aku harus mencarikanmu penggantiku?? apakah dengan begitu semuanya akan baik, dan kau juga ibumu akan bahagia.

~~~To be continued~~~

 READ MORE “GWENCHANA”

Part 1 | Part 2 | Part 3 | Part 4 | Part 5 | Part 6 [END] | Side story

Penulis: Rasyifa

♥ Ordinary Girl, who loves rain sound.

58 thoughts on “Onew Fanfic Sad // Gwenchana Part 1

  1. Mantap thor 🙂

    Suka

  2. Duh miris banget jieun, uda sakit eh malah dihujat terus menerus. Yah seharusnya jinki bisa membicarakan ini dgn ibunya secara baik baik sih hmmm

    Suka

  3. hwa kasian jieun, mertua nya jahat nich huh,, apa sebelum menikah ndk dpt restu dari mertuanya ya mungkin,,,,

    Suka

  4. Mertuanya galak banget deh.. Kasian jieun,

    Suka

  5. yaampuun jieun… hiks hiks..

    Suka

Feedback. . .♥