Rara Story

Mejor opción es ser tu mismo

Onew Fanfic Sad // Gwenchana Part 3

47 Komentar

  • Genre : Marriage Life, Romance,  Sad, Straight, Life, Family.
  • Rating : Teen (PG-15)
  • Length : Sequel
  • Backsound :
    – Butiran Debu – Rumor ( :p *soalnya..aku lagi suka banget lagu ini)

Gwenchana

2012©Rasyifa

Lee Ji Eun POV:

“Apa kau pulang malam hari ini?” tanyaku pada Jinki yang nampak sibuk memasangkan dasi pada kerah kemejanya. Akupun mendorong kursi rodaku perlahan, mendekati sosok tubuh tegapnya yang sedang berdiri di depan cermin.

“Butuh bantuan prince?” ujarku sambil memasang wajah tersenyum pada Jinki, tapi apa yang ternyata aku dapatkan? Dia justru mengacuhkanku dan berjalan melewatiku, bahkan  kakinya sedikit menyentuh kasar bagian kursi rodaku, membuat aku beserta kursi rodaku tergeser beberapa centimeter dari tempatnya semula. Tapi tunggu..kenapa dia bersikap seperti ini padaku?

* * *

“Hari ini apa kau ada ship malam Jinki?” Tanya ibu mertuaku disaat kami sedang sarapan, aku melirikkan ekor mataku pada Jinki yang nampak asyik menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

“Ahni, aku pulang sore hari ini!” jawabnya tanpa menoleh pada ibu mertuaku.

“Ooh, baiklah!” suasana kembali hening, Jinki dan ibu mertuaku makin terlarut dalam aktivitas mengunyah makanan mereka, sementara aku justru semakin terlarut melirik Jinki dengan ekor mataku. Pagi ini dia berbeda, dia bukan Jinki si dokter tampan yang sering menggoda istrinya, dia bukan Jinki yang romantis, dia sangat berbeda semenjak kemarin malam.

“Aku selesai, Eomma…Jinki berangkat dulu!” sosok lelaki di sampingku beranjak dari duduknya, kemudian menghampiri ibu mertuaku dan mengecup singkat tangannya. Kemudian dia melangkah ke luar, meninggalkan aku yang terpatung.

Dia melangkah ke luar, tanpa berpamitan denganku? Dia tak berpamitan denganku? Bahkan dia juga tak menoleh padaku. Hei Prince, sebenarnya ada apa?

“Kalian ada masalah?” ucap ibu mertuaku yang juga menyadari keanehan ini.

“…Ah tapi itu hal yang bagus, ku harap masalah kalian ini cukup besar untuk dibawa ke arah perceraian,” lanjutnya, padahal aku bahkan belum menjawab pertanyaan itu, dan ibu mertuaku sudah melanjutkan ucapannya kembali. Yang lagi-lagi membuatku merasakan miris saat mendengarnya. Perceraian, benarkah dia menginginkan perceraian itu terjadi di antara kami?

* * *

Sudah pukul sepuluh pagi, tapi belum ada pesan singkat atau telpon darinya, apakah dia benar-benar sibuk. Tapi setahuku, bagaimanapun sibuknya suamiku itu, dia akan tetap melowongkan waktunya untuk menghubungiku tiga jam sekali, baik untuk sekedar menanyakan kondisiku ataupun mengingatkan aku untuk meminum obatku.

Aku terus menatap nanar pada sosok telpon di hadapanku. Benarkah dia tak menolponku? Tapi kenapa…?

*

*

*

Waktu terasa berjalan sangat lambat, aku bahkan sudah beberapa kali mengelilingi rumah dengan kursi rodaku hanya untuk sekedar menghilangkan kebosananku, tapi sepertinya hasilnya nihil.. toh aku tetap merasakan bosan sekarang. Heh, sepertinya dia benar-benar tak menghubungiku.

Tapi kenapa aku harus seperti ini, maksudku..kenapa aku harus menunggu dia yang menghubungiku, kenapa tidak aku saja yang menghubunginya lebih dulu. Ya, sepertinya itu bukan ide buruk. Jika kau tidak menghubungiku, maka akulah yang akan menghubungimu lebih dulu, Lee Jinki.

Akupun menyalakan tombol otomatis di kursi rodaku agar berjalan menuju letak telpon. Aku harap aku menelponnya di saat yang tepat, sehingga aku tak perlu mengganggu aktivitas kerjanya.

*

*

*

Yeobboseo?” ku dengar suara lembutnya dari balik telpon yang tersambung, tanpa sadar aku mulai tersenyum tipis saat menyadari bahwa suara lembut ini adalah suara milik suamiku sendiri.

“Jinki~ya, ini aku..apa kau sedang sibuk?” tanyaku dengan suara sedikit pelan, takut jika sekarang ada banyak orang di sekitarnya dan mungkin terganggu karena telpon ini.

“Hah, ternyata dia! ————–tiiiiiiiittttttttttttttt—————-!”

aku terpaku di tempatku, mendadak bingung sekaligus heran, gumaman itu sangat pelan, lebih pelan dari suaraku  tapi aku dapat mendengarnya dengan jelas, ya..aku mendengarnya dengan sangat-sangat jelas.

“Hah, ternyata dia..”

Itulah yang dia gumamkan ketika menyadari bahwa sang penelpon adalah aku, dan tanpa bertele-tele dia memutuskan telpon itu setelah tahu bahwa itu telpon dariku, Ya…sepertinya itu kronologisnya. Tapi kenapa? Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa dia memperlakukanku seperti itu.

“Ya Han Ji Eun, apa yang ingin kau lakukan dengan telpon itu? Apa kau berniat menelpon anakku, bukankah sudah ku bilang jangan pernah mengganggu anakku saat bekerja, apa kau ingin Lee Jinki dicap sebagai dokter amatir hanya karena menerima telpon disaat waktu kerja!” itu suara ibu mertuaku yang sedang berdiri di atas anak tangga, beliau menatap tajam padaku, tatapan tidak suka dan benci yang sangat lekat, tapi aku tidak terlalu mempedulikan apa yang sedang ia ucapkan karena otakku masih sibuk untuk mencari sebuah jawaban dari pertanyaan ‘kenapa Jinki bersikap seperti  ini padaku’.

*

*

*

Lee Jinki POV :

“Impulsnya sudah habis dua kantong dok, kondisi pasien juga mulai membaik, detak jantung dan tekanan darahnya juga sudah normal. Apa pasien  masih perlu dirawat inap dan diberi cairan impuls?” jelas seorang perempuan yang bekerja  sebagai seorang suster di rumah sakit ini. Hem..perempuan ya? Bicara tentang perempuan, kira-kira bagaimana ya keadaan perempuan yang bernama Han Ji Eun itu sekarang.

“Bagaimana dok?” eh..apanya yang bagaimana? Aduh..aku bahkan tak ingat apa yang ia jelaskan tadi.

“Dokter..bagaimana?” ck..baiklah jika kau mendesakku, disinikan aku dokternya.

“Berikan suntikannya!” gumamku sambil menolehkan kepalaku pada suster itu, yah..aku hanya bergumam asal, bukankah aku sudah bilang kalau pikiranku sama sekali tidak terfokus pada apa yang telah suster itu ucapkan. Suntikan, sepertinya itu yang harus aku lakukan kan?

“Suntikan, untuk apa dok?”

“Untuk menyuntik pasiennya!”

“Suntikan apa?”

“Suntik mati!?”

“HAH!!” astaga..apa yang barusan aku ucapkan, bahkan pasien dihadapanku yang sedang terbaring lemah tiba-tiba terbangun dan menatapku dengan pandangan horror. Sepertinya aku telah salah bicara, mampus.. benar-benar mampus!

“Hahaha..dokter Lee memang suka bercanda!” ucap suster disampingku tiba-tiba, sambil diiringi tawa renyah, yah..setidaknya ucapan itu membuat aku dapat bernafas lega, akupun pura-pura ikut tertawa bersama suster itu.

“Ya..aku hanya bercanda tuan!” ucapku sambil menunjukkan senyumku. “…sepertinya kau sudah bisa pulang!” lanjutku sambil terkekeh menggoda pasienku.

“Nah..tuan Kim, seperti yang dokter Lee bilang anda sudah bisa pulang!” eh..apa yang suster ini bicarakan? Tadi itukan aku hanya bercanda, yah..sekedar melanjutkan gurauan saja!

“Benarkah, terimakasih kalau begitu!” ucap lelaki paruh baya itu sambil menjabat tanganku. Ck..ya sudahlah kalau memang begitu. Lagipula inikan terjadi karena keteledoranku sendiri, siapa suruh aku salah bicara. Dan lagipula sepertinya lelaki ini juga sudah pulih dari sakitnya. Ya, tidak apa-apa Lee Jinki, semua ini bukan masalah besar.

“Ya sama-sama pak, jangan lupa jaga kesehatan anda! Kalau begitu saya permisi ingin mengunjungi pasien lain!” aku menepuk pundak pasienku lalu melangkah keluar dari ruang inapnya. Aduh..benarkah tak akan terjadi apa-apa jika aku menginjinkan pasien itu pulang?

*

*

*

Sudah pukul setengah dua belas siang, dan aku sudah berada di ruang kerjaku sendiri. Di depanku, tepatnya di atas meja kerjaku, sudah ada kumpulan berkas-berkas pasien yang menumpuk. hehh..bahkan berkas-berkas itu belum tersentuh sedikitpun olehku. Jangan ditanya kenapa? Jawabannya..karena aku malas. Ya, itu hanya untuk sekedar menyentuh saja,  apalagi untuk membaca dan memperiksanya satu persatu.

Tik..tik..tik

Sekarang bahkan suara jarum jam yang berdetak terdengar sangat nyaring di telingaku. Ini benar-benar sangat membosankan. Tapi sebelumnya aku tak pernah merasa sebosan ini, karena disaat seperti ini biasanya aku akan menelpon istriku, Han Ji Eun ahni tapi Lee Ji Eun.

Ah iya, aku tidak menelpon Ji Eun tadi, bukan karena aku lupa. Bahkan aku sangat ingat kapan aku harus menelpon Ji Eun, tapi aku memang sedang tak ingin menelponnya. Aku sedang marah padanya, atau lebih tepatnya sangat marah. Hem..meski aku sangat merindukkannya sekarang, aku akan menahan diriku untuk tidak menelponnya.

Dreett Drerrtt Dreettt

Sekarang apa lagi sih, aku bahkan sedang sangat tidak mood untuk bekerja, kenapa ada panggilan masuk disaat seperti ini. Aku khawatir akan menggunakan nada tidak suka pada sang penelpon. Tapi tunggu, apa yang barusan aku lihat? Nomer yang menelpon selfonku adalah nomer telpon yang ada di kamarku. Jangan bilang padaku bahwa yang sekarang sedang menelpon ini adalah Ji Eun, istriku.

Yeobboseo?” ucapku sesaat telpon tersebut sudah ku angkat.

“Jinki~ya, ini aku..apa kau sedang sibuk?” suara lembut yang terdengar pelan, suara istriku. Aku tersenyum tipis saat tiba-tiba bayangan wajahnya muncul di pikiranku. Astaga..aku tak boleh seperti ini, apa yang aku lakukan? Kalau seperti ini rencanaku akan kacau.

“Hah, ternyata dia!” gumamku pelan seolah menunjukkan aku tak suka dia menelponku. Dan karena aku sudah tak tahan lagi, akupun memutuskan telpon itu secara sepihak. Aku benar-benar tak kuat untuk bersikap sedingin ini padanya. Ji Eun maafkan aku, tapi aku benar-benar sedang marah padamu. Ya, aku sangat marah padamu.

*

*

*

Lee Ji Eun POV :

Ini bahkan sudah larut, dan tidak pantas disebut dengan sore. Tapi sosok dokter tampan itu belum juga menampakkan batang hidungnya di rumah ini. Kemana dia, kenapa dia tak menepatinya untuk pulang sore. Apakah tiba-tiba ada tugas mendadak? Tapi biasanya jika itu terjadi, dia akan menghubungiku.

Aku menatap sebuah telpon di kamarku. Haruskah aku menelponnya lagi? Tapi aku bahkan masih ingat dengan jelas apa yang dia ucapkan saat aku menelponnya tadi siang. Ji Eun sepertinya benar-benar ada masalah diantara kalian.

Tapi apa, aku bahkan tak dapat mengingat apapun. Kecuali satu hal, tentang itu……..

‘treeeeeeeeaaaakkk’

Aku mengalihkan pandanganku saat mendengar suara pintu kamarku tiba-tiba terbuka pelan. Dan dari pintu yang terbuka, aku menemukan sosok Lee Jinki disana. Dia terlihat berantakan dengan wajah yang kusut.

“Ahhhhh” dia mendudukkan dirinya asal di sudut ranjang. Aku hanya terdiam sambil terus menatapnya dari sudut lain di atas ranjang.

Suasana mendadak hening, dan dilihat kondisinya, sepertinya Jinki sekarang sedang dalam keadaan mabuk, bahkan nafasnya terlihat tak teratur.

“Apa kau mengganggap pernikahan kita sebuah permainan?”

Jleb

Aku membeku di tempatku saat mendengarnya tiba-tiba berucap seperti itu.

“Apa?”

“Ji Eun, apa bagimu kita sedang menjalankan sebuah permainan?”

“……”

*

*

*

“Aku tidak tau, tapi sepertinya aku sudah gila. Aku benar-benar tergila-gila padamu Ji Eun! Aku tak butuh perempuan lain selain kamu. Aku hanya ingin kamu! Bukankah kau sendiri yang berjanji padaku waktu itu, bahwa kau akan tetap menjagaku agar tetap menjadi milikmu seorang. Tapi kenapa kau berhianat? Kenapa kau menyuruhku untuk mencari wanita lain? Kenapa HAH?” satu airmataku jatuh menetes tanpa dikomando, dengan kedua mataku aku memandang Jinki dengan pandangan nanar.

Kemarin, aku mengatakan padanya bahwa sebaiknya dia mencari wanita lain selain aku. Wanita yang bisa memberikannya kebahagiaan untuknya dan keluarganya, wanita yang bisa menjadi istri dan ibu yang baik untuk anaknya. Bukan wanita sakit sepertiku. Wanita yang bahkan jika ditinggal di jalanan tak bisa menuju arah rumahnya. Wanita yang hanya bisa menangis, duduk di atas kursi roda. Wanita yang benar-benar payah.

“Aku sakit Lee Jinki!” gumamku sambil mendudukkan kepalaku, dan satu tetes airmataku kembali jatuh.

“Aku sakit dan entah sampai kapan aku bisa bertahan!”gumamku lagi.

“Apa yang kau ucapkan Lee Ji Eun?” suaranya terdengar bergetar saat mengucapkan namaku dengan marga Lee miliknya. Tuhan, kenapa pembicaraan ini harus ada? Seharusnya saat Jinki pulang, aku pura-pura tidur tadi.

“Ji Eun, ini bukan kau! Kenapa kau berucap seperti itu HAH? Apa karena ibuku?” entah sejak kapan Lee Jinki sudah berada tepat di hadapanku dan dia mengangkat daguku, agar dia bisa leluasa menatap wajahku. Sementara aku masih memilih untuk bungkam tak menyahut dengan satu katapun.

“…dua tahun yang lalu, aku bertemu dengan gadis tanpa rambut. Gadis itu menangis di atas kursi rodanya. Tapi saat aku datang dan bertanya padanya ‘ada apa’, dia mencoba menghapus airmatanya dan menyembunyikan kesedihan dengan tersenyum. Saat itu hatiku bilang, bahwa gadis itu adalah gadis yang menarik, dia gadis yang kuat!”

“..lambat laun semanjak aku mengenalnya aku mulai jatuh cinta padanya! Aku mulai tertarik dengan segala kebiasaannya! Dan erasaan  inipun semakin menjadi-jadi saat melihat senyumnya! Dan mungkin dia juga tak pernah tahu bahwa aku selalu ingin bersamanya! Dan aku sekarang telah resmi menjadi suaminya, dan diapun juga menjadi istriku..hanya ada kami berdua! Itu sudah cukup bagiku!” aku tersiak mendengar apa yang dia ucapkan dan melihat aku yang terisak, dia menarikku ke dalam pelukannya. Kemudian dengan lembut membelaiku.

“Aku tahu kau sakit, tapi bukan itu masalahnya, Ji Eun! Dan pernahkan kau berpikir bahwa karena sakit yang kau deritalah kita dipertemukan!?”

Deg..deg..deg..

Tidak bisa, tidak bisa. Aku tak boleh terlarut dalam pelukannya. Aku sudah berjanji pada ibu mertuaku, dan akupun sudah berjanji pada Tuhan. Aku tak akan menyianyiakan kesempatan hidupku kali ini.

“Bisakah kau mencoba mengerti posisiku? Aku seorang istri yang tak bisa membahagiakanmu! Aku tak bisa memberikan keturunan ataupun melayanimu selayaknya yang dilakukan seorang istri pada suaminya. Aku tak bisa melakukan itu. Apakah kau tak menyesal menikah denganku??”

“Tidak, tidak akan pernah!”

“Ayolah Jinki jangan begitu!” aku melepaskan dekapannya dari tubuhku, kemudian beringsut mundur.

“Aku tak meminta lebih, aku hanya ingin kau mencari wanita lain. Yang dapat memberikan kebahagiaan untukmu, tolong berikan aku kesempatan melakukan ini!” Jinki memandangku murka, wajahnya terlihat merah padam kemudian ku lihat nafasnya terlihat semakin tak teratur. Jinki…

“Kebahagiaanku? Aku sudah sangat bahagia sekarang. Kau saja yang bodoh! Kenapa bisa berbicara seperti itu, Hah? Kau pikir aku ini barang yang bisa kau bagi dengan orang lain! Kau pikir aku ini apa Ji Eun!”

“Ya..kau memang sosok barang di mataku, kau barang yang sangat berharga. Dan karena itulah aku mintamu mencarikan perempuan lain untuk menjagakan barang berhargaku. Sebab aku tak bisa merawat barang berhargaku sendiri dengan baik, atau mungkin aku hanya bisa merusaknya perlahan!”

“Ji Eun!” Jinki nampak ingin menyela, namun aku tak memberikan celah,sebab aku sudah  melanjutkan kembali ucapanku.

“Sejak kecil keadaanku sudah seperti ini! Jantungku rusak, dan karena itu aku tak pernah bisa merasakan kebebasan yang dirasakan oleh anak lain. Aku tak pernah mengunjungi taman bermain karena eomma bilang taman bermain itu bisa memperburuk kondisi kesehatanku. Bahkan waktu kecil aku ingin sekali menikmati permen, tapi eomma juga melarangnya! Aku merasa benar-benar tak bahagia. Namun saat seorang dokter muda menghampiriku, semua berubah…ya..berubah!”

“…aku tak ingin menyia-nyiakan sisa hidupku yang singkat! Kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan. Aku tak akan melarangmu, tapi ku mohon… carilah wanita lain yang dapat membahagiankanmu! Lakukanlah, dan jika kehadiranku membuatmu tak bisa melakukannya secara leluasa..anggap saja aku sudah meninggal dan lenyap dari dunia ini. Begitupun, juga ‘tidak apa-apa’ . Atau kau mau kita cerai saja?

“Ji Eun!” Jinki kembali ingin menyelaku tapi lagi dan lagi aku tak memberikannya kesempatan.

“Andai aku tidak sakit, mungkin aku bisa membahagiakanmu! Tapi seperti yang aku bilang…aku tidak bisa karena aku sakit! Ya..bukan hanya itu, aku bahkan hanya bisa menyulitkanmu!”airmataku semakin menjadi-jadi untuk menyeruak. Mengucapkan hal ini benar-benar membuat dadaku sesak sendiri.

Aku sudah jatuh Jinki dan aku tidak bisa bangkit lagi. Jadi biarkan saja aku tenggelam sekalian sampai mati. Sampai kapanpun aku akan menjaga perasaan yang disebut dengan cinta ini.

Tapi bagiku cinta bukan hanya sekedar untuk dijaga tapi juga untuk dihargai. Dan beginilah caraku untuk menghargai cinta, ya..aku ingin cinta ini menjadi kebahagian untuk kita, Jinki. Dan semua orang yang berada disekitar kita, tak peduli bahkan ketika kebahagian itu harus ditukarkan dengan berbagi cinta sekalipun. Ya, aku Lee Ji Eun dengan kesungguhan hati..akan  merelakan suamiku, Lee Jinki berbagi cinta untuk perempuan lain.

“Baiklah Ji Eun, kau benar-benar keras kepala! Jika memang benar itu keinginanmu, aku akan mengabulkannya! Aku akan mencari wanita lain untuk ku jadikan istri!”

Jder..

Inikah yang disebut dengan kebahagiaan, ya..mungkin sesak yang muncul tiba-tiba saat mendengar apa yang ia ucapkan adalah rasa sakit, tapi jika dengan begini dapat membuat orang di sekitarku bahagia. Maka dengan senang hati, aku akan menyebut sesak ini bagian dari kebahagiaan.

To Be Continued

“READ MORE GWENCHANA”

Part 1 | Part 2 | Part 3 | Part 4 | Part 5 | Part 6 [END] | Side story

Penulis: Rasyifa

♥ Ordinary Girl, who loves rain sound.

47 thoughts on “Onew Fanfic Sad // Gwenchana Part 3

  1. jinki andwae jangan jangan. tidaakkkkk jangan nikah lagi. istri mu itu lg ngigo.. duhh jangan jinki… aku tak relaaaaa…….

    kak rara senengnya buat org mewek maksimal nih 😥 tanggung jawab kak !

    good ff kak. keep writer ^^

    Suka

  2. ….tunggu tunggu…. (OAO )( OAO)/ panik dulu sebelum lanjut ke part 4…

    Suka

  3. Hahhhh!!! Sesak = bahagia. Sepertinya kata-kata ini ada benarnya. Aku salut sama jieun, mungkin dgn cara ini ibu jinki bisa lebih sedikit menghargai jieun, ya mungkin

    Suka

  4. aigooo poor jieun,, 😦

    Suka

Feedback. . .♥